Dengan nada tegas, Erni Bajau mengingatkan bahwa keberadaan laut yang mendominasi bumi Indonesia adalah ruang hidup utama bagi suku Bajau.
“Tuhan menciptakan bumi menjadi dua bagian. Ada darat ada laut. Dan 75 persen bumi Indonesia yang terbesar adalah laut. Sementara masyarakat penghuni pesisir laut terbesar adalah orang suku Bajau,” ujarnya, menekankan keterikatan mendalam komunitasnya dengan lautan.
Lebih lanjut, Erni Bajau mengungkapkan bahwa gelombang penggusuran tidak hanya menerjang NTT, tetapi juga Pasidor, Sapondang, dan pulau-pulau lainnya di Nusantara. Ia menegaskan bahwa siap bergerak membela saudara-saudara mereka di Pulau Kera yang saat ini terancam terusir dari tanah leluhur mereka.
“Kami siap menduduki Pulau Kera dari Same-Bajau Indonesia. Siap datang ke NTT membela rakyat kami yang hari ini terintimidasi,” serunya dengan penuh keyakinan.
Ia juga melayangkan kritikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kupang atas nama “niat baik” yang dianggap Erni Bajau sarat kepentingan pribadi dan berpotensi adanya praktik “main mata” dengan pihak lain. Janji pembangunan fasilitas seperti masjid, sekolah, dan sumur air bersih dinilai tidak relevan ketika masyarakat kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan.
“Ketika masyarakat tidak bisa melaut, apa gunanya fasilitas dasar yang dijanjikan pemerintah Kabupaten Kupang? Kami tidak bisa disamakan dengan masyarakat yang ada di darat,” tegasnya.
Erni Bajau juga menyoroti pernyataan diskriminatif yang merendahkan eksistensi suku Bajau sebagai komunitas nelayan, dengan menyarankan mereka untuk beralih menjadi petani.
“Apakah petani mau disuruh jadi nelayan?” tanyanya retoris, menyindir ketidakpahaman pihak tertentu terhadap realitas kehidupan dan keahlian masyarakat Bajau.
Ia dengan lugas menyatakan bahwa relokasi di Pulau Kera adalah “konspirasi untuk kepentingan bisnis,” menepis klaim bahwa pulau tersebut adalah tanah negara tanpa mempertimbangkan status dan hak masyarakat yang telah lama mendiaminya.
“Apakah kita bukan milik negara? Apakah pohon di Pulau Kera, batu di Pulau Kera, bisa mencoblos?” sentilnya.
Erni Bajau juga memastikan bahwa perjuangan masyarakat Pulau Kera tidaklah sendiri. POSBI telah membawa isu ini ke tingkat nasional, termasuk Istana Kepresidenan, Komisi III DPR-RI, Kementerian ATR/BPN, dan bahkan berencana melanjutkannya ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mencari keadilan.
Di penghujung orasinya, Erni Bajau menyerukan persatuan dan solidaritas. “Hidup nelayan, hidup petani, hidup masyarakat yang tertindas. Pulau Kera, tolak relokasi, tolak relokasi!” pekik Dia yang disambut riuhnya dukungan dari massa aksi yang hadir.
Aksi damai ini menjadi simbol penolakan terhadap marginalisasi dan rencana relokasi yang dialami suku Bajau di Pulau Kera.
Narasi yang disampaikan Erni Bajau tidak hanya menyentuh aspek hukum dan ekonomi, tetapi juga menggugah nurani kemanusiaan, mengajak semua pihak untuk memahami dan menghargai keberadaan komunitas yang memiliki kearifan lokal. Solidaritas untuk Pulau Kera dan suku Bajau pun kini bergulir, menanti respons bijak dan berkeadilan dari para pemangku kebijakan.( * )