Konselpos.com || - Andoolo, Ibu Kota Kabupaten Konawe Selatan, menghadirkan ironi yang sulit ditampik. Sebagai pusat pemerintahan, ia seharusnya menjadi pusat denyut nadi ekonomi sosial, dan politik daerah.
Namun, kenyataan di lapangan justru menyajikan pemandangan sebaliknya: jalanan lengang, pasar tidak bergairah, dan geliat ekonomi hanya terasa sesaat saat pejabat datang untuk urusan dinas, lalu kembali sepi setelahnya.
Ekonomi yang Tercekik oleh Sepinya Aktivitas:
Kondisi ini paling dirasakan oleh pelaku usaha kecil. Sejumlah pedagang rumah makan mengaku menggantungkan harapan pada aktivitas ibu kota, namun yang mereka terima justru kekecewaan.
“Kami ingin ibu kota Andoolo ramai, supaya warung bisa berputar. Tapi kenyataannya sepi, hanya ramai kalau ada rapat atau kunjungan pejabat. Pajak tetap jalan, padahal pembeli jarang,” keluh salah seorang pedagang rumah makan di pusat kota Andoolo yang tak mau disebutkan namanya.
Ironisnya makin terasa ketika pajak restoran diberlakukan tanpa memperhitungkan kondisi pasar.
Jika ada perputaran ekonomi yang sehat, pungutan bisa dianggap wajar. Tetapi dalam kondisi sepi, kebijakan ini justru menambah beban.
“Sudah sepi malah doyan bikin rapat di kota Kendari. Itu artinya Andoolo makin ditinggalkan,” kritik Ketua DPD LSM LIRA Konawe Selatan, Soni Septyawan, menyoroti kebiasaan pejabat yang lebih memilih fasilitas hotel di Kendari ketimbang memanfaatkan gedung pemerintahan di Andoolo.
Geografi dan Psikologi Sosial yang Terpinggirkan;
Secara geografis, Andoolo memang bukan berada di jalur utama perdagangan Sulawesi Tenggara.
Akses dari Kendari yang relatif jauh membuat sebagian pejabat lebih memilih bolak-balik daripada menetap.
Akibatnya, Andoolo kian terperangkap dalam keterpencilan.
Bagi masyarakat, hal ini berdampak pada psikologi sosial.
Mereka merasakan “kesepian sosial” dari kotanya sendiri. Rakyat melihat pembangunan seolah hanya formalitas, sementara para pejabat lebih nyaman berada jauh dari jantung daerah.
“Ini bukan hanya soal jalan atau jarak, tapi soal sikap. Kalau pejabatnya saja setengah hati menetap di ibu kota, bagaimana rakyat bisa percaya bahwa pembangunan ini untuk mereka?” ujar Soni.
Rumah Jabatan yang Kosong dan Moralitas yang Dipertanyakan
Lebih menyakitkan lagi, deretan rumah jabatan pejabat DPRD berdiri megah di Andoolo, namun banyak yang tak dihuni. Listrik, air, dan biaya pemeliharaan tetap mengalir, tetapi fungsi sosial-politiknya nihil.
“Untuk siapa rumah jabatan itu dibangun kalau tidak ditinggali? Ini bukan sekadar soal teknis, tapi moralitas pejabat. Mereka digaji rakyat, tapi enggan hidup bersama rakyat,” tegas Soni.
Tak hanya anggota dewan, beberapa kepala dinas pun diketahui enggan menetap. Mereka hanya hadir saat urusan administratif, lalu meninggalkan Andoolo.
Teguran Moral dan Amanah Anggaran:
Situasi ini, menurut Soni selalu Bupati LSM LIRA, adalah tanda kegagalan moral dan tata kelola pemerintahan. Efisiensi anggaran yang seharusnya menjadi amanah, justru kerap dijadikan dalih untuk pemborosan.
“Anggaran rakyat itu bukan untuk berfoya-foya. Bintek, kaji tiru, atau perjalanan dinas jangan jadi ajang wisata terselubung. Rakyat masih berjuang dengan daya beli yang rendah, pasar sepi, perut menahan lapar. Sementara pejabat nyaman dengan anggaran negara. Ini menyakitkan,” sindir Soni tajam.
Menurutnya, efisiensi bukan semata hitung-hitungan keuangan, melainkan cermin moralitas pejabat dalam berlaku adil.
“Adil bagi rakyat kecil yang menunggu kebijakan berpihak, adil bagi UMKM yang sepi pembeli, dan adil bagi generasi mendatang yang berhak menikmati hasil pembangunan, bukan sisa-sisa dari kerakusan hari ini,” pungkasnya.
Andoolo hari ini memberi pesan tajam:
Soni bilang ibu kota kabupaten tidak boleh menjadi kota singgah. Ia harus hidup sebagai pusat ekonomi, pusat sosial, sekaligus pusat moralitas. Dan itu hanya bisa terwujud jika para pejabat berani tinggal, rakyat diberdayakan, dan pemerintah berhenti setengah hati.
Laporan Soni Septywan.( * )