Penulis : Adi Yusup Tamburaka.
Kendari 17 September 2025.
Penerbit Media KONSELPOS.com
Editor : Arsan Tonto.
Konselpos.com || Konawe Selatan - Konflik agraria di Indonesia seringkali muncul dari ketidakjelasan status tanah antara hak negara, hak korporasi, dan kebutuhan hidup rakyat. Salah satu kasus aktual adalah tanah bekas PT Kapas Indah Indonesia yang telah lebih dari 25 tahun telantar. Kini, negara berencana memanfaatkan lahan tersebut untuk pembangunan markas Kopassus. Namun, masyarakat yang sudah lama mendiami dan bercocok tanam di atas tanah itu menghadapi ketidakpastian nasib. Pertanyaan pun muncul: di antara hak negara dan nafkah rakyat, siapakah yang harus didahulukan?
Tanah dan Hak Negara
Konstitusi Indonesia menegaskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Hal ini berarti negara berwenang penuh menentukan penggunaan tanah, termasuk untuk kepentingan pertahanan dan keamanan.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 memberikan dasar bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6). Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), atau hak pakai dapat dicabut bila tanah tersebut ditelantarkan. Pasal 27, 34, dan 40 UUPA menegaskan, bila tanah tidak digunakan sesuai izin, haknya hapus dan tanah kembali menjadi milik negara.
Kasus PT Kapas Indah Indonesia, anak perusahaan PT Berdikari (BUMN), yang telantar selama 25 tahun jelas memenuhi syarat sebagai tanah terlantar. Berdasarkan PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, tanah seperti ini seharusnya ditetapkan kembali menjadi tanah negara oleh Menteri ATR/BPN. Dengan begitu, negara memiliki dasar hukum kuat untuk menggunakannya, termasuk membangun markas Kopassus.
Masyarakat di Atas Tanah Terlantar
Masalahnya, tanah yang secara hukum kembali ke negara itu tidak pernah benar-benar kosong. Selama puluhan tahun, masyarakat sudah masuk, membangun rumah, dan bercocok tanam. Mereka mungkin tidak memiliki sertifikat, tetapi secara sosiologis tanah itu adalah ruang hidup.
Fenomena ini bukan hal baru. Banyak tanah perkebunan eks-HGU atau aset BUMN yang telantar kemudian diduduki masyarakat. Mereka menggarap dengan itikad baik karena kebutuhan ekonomi dan keberlangsungan hidup.
Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria bahkan membuka ruang bagi masyarakat seperti ini untuk mendapat prioritas dalam redistribusi tanah. Artinya, kehadiran masyarakat di atas tanah PT Kapas Indah Indonesia tidak bisa serta-merta dianggap ilegal, melainkan harus dilihat dalam kerangka keadilan sosial.
Dilema Kepentingan Negara dan Rakyat
Di satu sisi, negara punya kepentingan strategis membangun markas Kopassus demi pertahanan nasional. Di sisi lain, rakyat kecil yang sudah puluhan tahun hidup di sana tidak mungkin begitu saja dipindahkan tanpa solusi.
Jika negara hanya menegakkan hukum positif—mengusir masyarakat dengan alasan tanah negara—maka akan muncul ketidakadilan. Tetapi jika negara hanya mengikuti kepentingan rakyat tanpa batas, maka fungsi strategis tanah untuk kepentingan nasional juga terabaikan.
Inilah dilema klasik yang memperlihatkan betapa pentingnya politik agraria yang adil. Negara tidak boleh terjebak pada formalitas hukum, melainkan harus menghadirkan solusi win–win bagi kedua pihak.
Opsi Solusi Jalan Tengah
Beberapa skema yang dapat ditempuh antara lain:
1. Inventarisasi oleh BPN
Pemerintah harus mendata status hukum tanah, luas area, dan jumlah warga yang sudah bermukim. Tanpa data valid, keputusan hanya akan menimbulkan konflik.
2. Pembagian fungsi lahan
Negara bisa mengambil sebagian tanah inti (misalnya 70%) untuk markas Kopassus, sementara sisanya (30%) bisa disertifikasi untuk rakyat melalui reforma agraria.
3. Relokasi dengan kompensasi layak
Jika seluruh tanah memang harus dipakai untuk markas, maka warga harus diberikan kompensasi tanah pengganti atau uang yang layak agar tidak kehilangan ruang hidup.
4. Kemitraan rakyat–TNI
Pola ini memungkinkan tanah tetap menjadi markas Kopassus, tetapi masyarakat tetap bisa mengelola lahan tertentu melalui izin resmi, misalnya untuk pertanian produktif.
5. CSR dan pemberdayaan ekonomi
Pembangunan markas Kopassus bisa diiringi program pemberdayaan masyarakat sekitar—misalnya koperasi tani, pelatihan kerja, atau penyediaan rumah tinggal—agar rakyat terdampak tidak tercerabut dari akarnya.
Belajar dari Kasus Serupa
Sejarah menunjukkan banyak kasus serupa, misalnya di lahan eks-HGU PTPN di Jawa maupun Sumatera, di mana konflik muncul karena tanah telantar dimasuki rakyat lalu diambil kembali negara atau BUMN. Sayangnya, penyelesaiannya kerap lebih banyak menggunakan pendekatan keamanan daripada sosial.
Padahal, pengalaman di beberapa daerah juga menunjukkan bahwa pola redistribusi sebagian tanah dan kemitraan justru menekan konflik sekaligus meningkatkan produktivitas lahan.
Penutup
Kasus tanah PT Kapas Indah Indonesia di Konawe Selatan yang telantar selama 25 tahun adalah cermin nyata problem agraria kita: ketika tanah tidak dimanfaatkan, rakyat hadir untuk hidup; ketika negara membutuhkannya kembali, rakyat dianggap mengganggu aset.
Negara memang punya hak menguasai tanah untuk kepentingan strategis, termasuk pertahanan. Tetapi hak itu tidak boleh menegasikan fungsi sosial tanah dan kebutuhan nafkah rakyat. Jalan tengah adalah memastikan markas Kopassus bisa berdiri tanpa mengorbankan rakyat kecil yang sudah lama berakar di sana.
Keadilan agraria bukan sekadar soal sertifikat, melainkan soal kepastian bahwa setiap jengkal tanah di Indonesia benar-benar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.