Konselpos.com || Poso, Sulawesi Tengah — Di jantung dataran tinggi Lore Tanah Bada, Kabupaten Poso, berdiri jejak leluhur yang tak hanya menyimpan sejarah, tetapi juga ruh budaya yang hidup. Dengan ketinggian antara 800 hingga 1.200 meter di atas permukaan laut, wilayah ini menjadi rumah bagi warisan megalitik yang tersebar di sepanjang lembah, serta satu peninggalan budaya yang tak ternilai: Tambi, rumah adat masyarakat Bada, Behoa, dan Napu.
Dalam bahasa Bada dan Behoa, rumah ini disebut Tambi, sedangkan di kalangan masyarakat Napu dikenal sebagai Sou. Meski namanya berbeda, maknanya satu: tempat bersemayamnya identitas, filosofi, dan nilai hidup masyarakat Lore.
Lebih dari sekadar tempat tinggal, Tambi adalah buku terbuka yang ditulis dengan simbol-simbol arsitektural yang dalam maknanya. Setiap detailnya mengandung pesan: tanduk kerbau (Tandu Baula) yang menjulang di atap menandakan kekuatan dan keteguhan; tombak (Tawala) dan parang pusaka (Piho) sebagai lambang kesiapsiagaan, kehormatan, serta perlindungan dari mara bahaya.
Tidak hanya itu, struktur atap ganda pada Tambi pun punya makna yang kuat. Atap pertama diperuntukkan bagi raja atau bangsawan tertinggi (Tu’ana Mahile), sementara atap kedua dihuni keluarga kerajaan, penjaga, hingga para pelayan. Ini mencerminkan sistem sosial masyarakat Lore yang hierarkis, namun berjalan harmonis dalam tatanan adat.
Bentuk atap yang menyerupai prisma dengan ujung runcing ke atas melambangkan hubungan vertikal manusia dengan Sang Pencipta, sedangkan garis horizontal pada badan rumah menandakan hubungan antarsesama manusia. Hanya ada satu pintu masuk dan satu tangga yang mengarah ke dalam rumah—menandakan bahwa setiap orang, tanpa kecuali, harus melalui jalur yang sama menuju kekuasaan dan kehormatan. Tidak ada pintu belakang. Tidak ada jalan pintas. Semua berjalan berdasarkan adat.
Simbol-simbol sosial lain juga terukir dalam struktur rumah. Di bagian bumbungan, terdapat tanda-tanda yang mencerminkan tingkatan kasta: mulai dari bangsawan (Tu’ana), hakim adat (Kabilaha), rakyat biasa (Tauna Maro’a), hingga budak (Hawi). Ini bukan sekadar pengkotakan sosial, melainkan penggambaran fungsi dan peran dalam kehidupan bermasyarakat.
Material pembangunan Tambi pun mencerminkan kearifan lokal: batu alam, kayu betau, bambu pecah, dan ijuk pohon enau. Semua berasal dari alam sekitar dan digunakan secara bijak—sebuah teladan tentang bagaimana manusia dan alam dapat hidup berdampingan secara harmonis.
Menurut maestro sastra tradisi Sulawesi Tengah, Yonathan Tokii, Tambi bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah puisi arsitektur, narasi hidup yang berdiri dalam wujud fisik.
“Tambi adalah buku budaya yang berdiri tegak. Setiap elemen di dalamnya adalah simbol naratif: dari tanduk kerbau, tombak, sampai bentuk atapnya. Ia mengajarkan tentang kekuasaan yang bersandar pada nilai spiritual dan tatanan adat. Maka ketika kita kehilangan Tambi, kita kehilangan sebagian narasi hidup kita sendiri,” ungkap Yonathan Tokii.
Sebagai Ketua Umum Komunitas Seniman Tampo Lore (KSTL), Yonathan menyerukan ajakan kepada semua pihak untuk bersatu menjaga dan menghidupkan kembali keberadaan Tambi.
“Ini bukan hanya soal pelestarian bentuk bangunan. Ini tentang menyelamatkan kosmologi, filosofi, dan identitas. Kami siap menjadikan Tambi sebagai pusat edukasi budaya, panggung kesusastraan tradisional, bahkan museum hidup untuk generasi muda,” tegasnya.
Di tengah arus modernisasi dan kian luntur pengetahuan lokal, masyarakat adat Lore kini menggeliat ingin menghidupkan kembali Tambi—bukan sebagai benda mati atau sekadar simbol masa lalu, melainkan sebagai roh budaya yang memberi arah dan makna bagi masa depan.
Karena Tambi bukan hanya rumah.
Ia adalah warisan, ia adalah cerita, ia adalah kuasa yang diwariskan dari leluhur—dan menjadi tanggung jawab generasi kini untuk terus menjaga, menghormati, dan meneruskannya.Laporan Jonathan Tokii
Redaksi KonselposTV: Arsan Tonto